Bagikan
Opini, Sorotinvestigasi.com – Di era informasi yang serba cepat seperti sekarang, kita dibanjiri oleh berbagai pendapat, berita, dan argumen dari berbagai arah. Sayangnya, tidak semua argumen yang kita temui dibangun dengan logika yang sehat. Justru, semakin sering kita jumpai orang yang tanpa sadar terjebak dalam argumentasi palsu, bahkan ikut menyebarkannya. Mengapa hal ini terjadi? Apa yang membuat logika publik seolah-olah “rusak”?
Fenomena Maraknya Argumentasi Palsu
Argumentasi palsu atau fallacy sebenarnya bukan hal baru dalam sejarah berpikir manusia. Sejak zaman filsuf Yunani kuno seperti Aristoteles, manusia sudah mengenal berbagai bentuk sesat pikir, seperti ad hominem (menyerang pribadi, bukan ide), strawman (menyalahartikan argumen lawan), hingga false dilemma (memaksa memilih dua opsi seolah-olah tidak ada pilihan lain).
Namun yang membedakan kondisi saat ini adalah kecepatan penyebarannya. Di media sosial, sebuah opini yang penuh sesat logika bisa viral dalam hitungan menit. Banyak orang kemudian menganggap sebuah argumen itu benar hanya karena sering dibagikan, bukan karena kualitas logikanya.
Faktor Penyebab: Emosi Mengalahkan Rasio
Salah satu penyebab utama mengapa banyak orang mudah terjebak argumentasi palsu adalah karena emosi sering kali lebih dominan dibanding rasio. Konten-konten yang bersifat provokatif, penuh kemarahan, atau memancing rasa takut biasanya lebih cepat memancing reaksi publik. Di titik ini, banyak orang berhenti berpikir kritis. Mereka lebih fokus pada bagaimana perasaan mereka saat membaca suatu argumen, bukan apakah argumen itu masuk akal atau tidak.
Kurangnya Literasi Logika
Faktor lain yang tidak kalah penting adalah rendahnya literasi logika di masyarakat. Pendidikan formal di Indonesia, misalnya, belum banyak memberikan porsi yang cukup untuk membekali siswa dengan kemampuan berpikir kritis dan mengenali sesat pikir. Akibatnya, masyarakat mudah termakan hoaks, propaganda, dan manipulasi opini.
Orang cenderung menerima argumen yang sesuai dengan keyakinan atau kelompok identitasnya, tanpa memeriksa validitas logikanya. Inilah yang kemudian memperparah polarisasi sosial dan politik.
Peran Media dan Influencer
Media massa dan para influencer di media sosial juga punya andil besar. Demi engagement, rating, dan klik, banyak dari mereka justru sengaja membentuk narasi yang penuh bias, bombastis, dan tidak jarang memakai argumentasi menyesatkan. Sayangnya, audiens jarang melakukan verifikasi sebelum ikut menyebarkan.
Solusi: Meningkatkan Kesadaran dan Pendidikan Logika
Sudah saatnya kita semua lebih waspada terhadap jebakan argumentasi palsu. Literasi media dan pendidikan logika harus diperkuat, bukan hanya di sekolah tapi juga di ruang publik.
Masyarakat perlu belajar untuk bertanya:
• “Benarkah premisnya?”
• “Apakah kesimpulan ini benar-benar mengikuti dari data dan fakta yang ada?”
• “Apakah saya sedang terjebak emosi saat membaca ini?”
Dengan membiasakan diri berpikir kritis, kita bisa menjadi masyarakat yang lebih tahan terhadap manipulasi informasi.
Penulis: Tim Redaksi
Disclaimer: Opini ini adalah interpretasi redaksional dan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran publik akan pentingnya berpikir logis dalam menghadapi arus informasi.